Suratku Untuk Mu Wahai Masa Lalu 


Perlahan ku coba untuk buka kedua mata. Terasa berat. Rasa kantuk masih saja bertahan untuk bertengger di kedua mataku ini. Sampai pada akhirnya setelah berusaha setengah mati aku pun berhasil membuat kedua bola mataku yang malas ini keluar dari persembunyiannya. Hal pertama yang aku lihat adalah langit – langit kamarku. Putih. Kosong . Seperti layar bioskop yang siap menampilkan diorama berbagai macam film ternama.
Namun yang aku lihat bukanlah film – film ternama seperti yang ada di bioskop pada umumnya. Yang terlihat adalah sejuntai kisah masa lalu yang sudah lama ku pendam sendirian, yang sudah lama tertidur dalam memori yang dalam, yang sudah ku kunci rapat – rapat dalam kotak ingatan agar tak ada satu pun yang bisa membukanya. Aku terdiam. Kaku. Tak mampu berkata – kata. Tak mampu bergerak. Hanya bisa diam melihat apa yang terpapar di hadapanku. Dan akhirnya air mata kupun mengalir. Deras. Kembali mengenang sebuah drama kehidupan yang menyakitkan. Sebenarnya tak seluruhnya menyakitkan. Ada saat – saat dimana aku merasa bahagia, menggebu dan terlena.
Namun entah mengapa, pada akhirnya semua itu sirna dikarenakan adanya sebuah perpisahan. Air mataku mengalir semakin deras, ketika kenangan itu kembali berputar di hadapanku, berputar menuju awal dari sumber rasa sakit yang menutupi dirinya dengan beribu kebahagiaan. Saat aku jatuh cinta. Ya cinta. Cinta yang menjadi sumber rasa sakitku selama ini. Cinta yang pernah ku raih, namun telah direnggut oleh kerasnya roda kehidupan.  
Entah bagaimana caranya akhirnya aku tersadar dari lamunan masa lalu yang menjeratku. Aku langsung melompat turun dari kasur dan kemudian menuju ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu aku duduk di sofa dan menyalakan televisi. Aku mencari program yang dapat menarik perhatianku. Namun setelah hampir  5 menit aku menggonta – ganti program televise, tak ada satupun acara yang menarik perhatianku. Otakku masih belum bias berpikir jernih, masih tersisa bayangan masa lalu yang menyelimuti sebagian alam sadarku. Akhirnya ku matikan televisi dan beranjak menuju meja belajarku. Ku raih secarik kertas dan sebuah pulpen, dan akhirnya aku mulai menulis.
Untukmu masa lalu,
Hai masa lalu, bagaimana kabarmu? Apakah kau merindukanku? Kalau menurutku sih kau pasti sangat merindukanku .Kalau tidak, mengapa kau kembali menghantui hidupku? Mengapa kau kembali berputar – putar dalam benakku? Aku lelah. Aku lelah karena kau selalu menghantui benakku. Bagaimana kalau kita berdamai saja? Akan akutuliskan semua tentangmu dalam surat ini, namun kau harus berjanji untuk tidak kembali berputar dalam benakku. Setuju ?
Dan kisah itu pun kembali mengalir…
Aku tak tahu harus mulai dari mana, tapi akan kuceritakan saat aku pertama kali bertemu dengan dirinya. Adrian. Cowok jahil yang selalu menggangguku, yang sering menbuatku kesal, yang sering membuatku marah, yang sering ku lempari dengan pengharus papan tulis, dan yang akhirnya membuatku jatuh cinta. Jatuh kedalam cinta yang terlalu dalam.
Kau pasti ingat bukan bagaimana awalnya ia suka usil padaku?  Ya saat itu kami masih duduk di kelas 8, kelas kami bersebelahan, hanya dibatasi rolling wall dan kelas kami pun tak pernah akur, selalu ada saja yang saling menendang rolling wall tersebut sampai akhirnya jebol. Alhasil kelas kami hanya dibatasi kain saja.
Saat itu aku kebagian duduk di kursi paling belakang, berada diantara perbatasan kelasku dan kelasnya. Seingatku saat itu sedang pelajaran matematika saat ada sebuah penghapus papan tulis – yang dilempar entah darimana- yang terkena kepalaku bagian belakang. Ini berarti penghapus papan tulis milik kelas sebelah, pikirku. Akhirnya aku melemparkan kembali penghapus tersebut ke kelas sebelah. Untuk sementara belum ada benda – benda yang terlempar lagi dari kelas sebelah,aku pun melanjutkan mencatat penjelasan dari Pak Arif. Namun, belum lama aku mencatat dating kembali benda yang dilempar dari kelas sebelah, ternyata kali ini sebuah gulungan kertas. Ku buka gulungan tersebut dan ternyata terdapat sebuah tulisan yang menghina kelasku. Akhirnya ku balas surat tersebut dengan hinaan untuk kelas sebelah tentunya, dan kulemparkan kembali kekelas sebelah. Lalu datang balasan lagi, dan akhirnya ku balas lagi sampai pelajaran matematika selesai.
Dan kini waktunya istirahat. Aku menceritakan hal tersebut pada teman – teman sekelasku, dan akhirnya kami segerombolan menghampiri kelas mereka. Sesampainya didepan kelas mereka sudah ada gerombolan anak cowok yang sepertinya diketuai oleh seorang cowok yang sok kegantengan. Adrian - dia memang terkenal jahil di antara anak kelas 8 lainnya -. Aku sedikit tertarik dengannya saat itu, kalau aku tidak mengingat ia musuh kelasku mungkin aku sudah menyukainya. Tak disangka Adrian menatap ku, memperhatikan ku dan menuduhku bahwa aku yang membalas suratnya tadi. “oh ternya itu tulisan tangan nya? Bagus juga” pikirku saat itu. Karena memang aku yang membalas surat tadi maka aku maju ke depan, dan kami pun mulai saling memaki. Kejadian ini – maksutku saat kamu saling memaki- masih terus belanjut setiap kali kami beratatap muka. Aku menjadi sangat membenci Adrian, saat itu ku tarik kembali kata – kataku bahwa aku sempat tertarik padanya walaupun sedikit…
Kegiatan kami saling memaki tetap berlanjut sampai kami naik ke kelas 9. Dan sialnya, kami sekelas -__-. Di awal – awal kelas 9 ia terkadang masih suka menjahiliku, sampai suatu saat ia mengirimkan sebuah sms kepadaku menanyakan tugas apa untuk esok hari. Awalnya aku tak tahu bahwa yang mengirimkan sms tersebut adalah Adrian. Akupun membalasnya sekaligus menanyakan siapa pengirimnya. Lalu ia mengaku bahwa dirnya yang meng-sms ku. Lalu kami semakin sering mengirimkan pesan – pesang singkat, hamper setiap hari. Entah itu hanya untuk menanyakan apa yang sedang ku lakukan ataupun mengucapkan selamat tidur. Jujur, saat itu aku sangat bingung, kaget bercampur heran dengan sikapnya yang suka mengirimkan pesan singkat kepadaku, selain itu sikapnya dikelas juga sudah berubah. Ia tak pernah lagi menjahiliku, justru kini ia menjadi anak yang cukup pendiam untuk seukuran anak laki – laki.
Hari selasa siang, pelajaran terakhir dikelas, aku merebahkan kepalaku diatas meja -menahan kantuk yang dating menyerangku- dan menatap kearah samping dan tanpa diduga ku lihat Adrian sedang melihat kearahku, menatapku dan memperhatikanku. Ia langsung memalingkan mukanya dan tak berani menatapku, dan kulihat wajahnya sedikit bersemu merah, entah karena udara yang cukup panas atau karena ia malu karena ketahuan sedang memperhatikanku.
Aku pun tertawa mengingat itu…
Malamnya Adrian mengirimkan pesan singkat yang kurang ku mengerti namun kalau perkiraanku tidak salah, pesan itu berisi:  Seperti orang yang menyatakan bahwa ia menyukaiku. Sontak aku kaget. Terkejut. Lalu datang lagi pesan singkat darinya yang menjelaskan maksut kata – katanya, dan dugaanku benar. Ia menyukaiku namun ia masih ingin mengenalku tanpa terikat sebuah hubungan, dikarenakan kami sudah kelas 9. Mau fokus UN katanya. Aku yang kebingungan dengan pesan singkat tersebut akhirnya memutuskan untuk tidak membalasnya.
Aku meringis…
Ke esokan harinya aku berangkat kesekolah seperti biasa, namun ada sesuatu yang tak biasa dalam hatiku. Ada sebuah gejolak yang ingin menyeruak keluar dari dalam dada. Aku bingung bagaimana nanti harus bersikap saat aku bertemu dengannya nanti. Apa aku haru bersikap biasa saja atau bagaimana? Aku terlalu canggung untuk bersikap biasa saja setelah ia mengirimkan pesan singkat seperti semalam.
Dan sesampainya dikelas tak kusangka hanya ada satu meja kosong yaitu disamping Adrian. Aku kaget. Mataku masih berusaha mencari- cari meja lain, siapa tahu saja masih ada yang kosong. Namun mungkin hari itu aku sedang kurang beruntung, tak ada meja yang masih kosong selain meja disamping Adrian. Terpaksa dengan langkah gontai aku menuju ke meja itu, dan duduk seperti robot. Tak menengok sama sekali ke arahnya. Sepertinya ia menyadari sikapku yang aneh, yang terkesan menghindarinya. Sampai akhirnya ia membuka sedikit percakapan kecil.
“hei kok diem aja sih? Ada masalah?”
“ah nggak, ga ada apa apa.” Jawabku canggung
“kalau soal yang semalem, di bawa enjoy aja ya”
Entah bagaimana caranya kata  -kata yang ia ucapkan menghangatkan hatiku. Akupun akhirnya mengangguk dan kembali berdiam diri karena tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Namun ia selalu memngajakku berbicara agar suasanya diantara kami kembali mencair, dan usahanya pun berhasil. Rasa canggungyang ada didalam diriku hilang dan aku bias bersikap wajar seperti biasanya.
Semakin hari hubungan kami semakin dekat, aku pun mulai merasakan nyaman dan hangat bila sedang bersamanya, aku mulai merasa cemburu kalau ada cewek – cewek yang mendekatinya, aku mulai merasa risau kalau tak ada pesan singkat darinya yang menghiasi ponselku, dan akupun mulai menyadari bahwa aku mulai menyukainya.
Aku tersenyum, menahan nafas, ada sedikit rasa sesak di dada…
Aku tahu bahwa aku mulai menyukai Adrian, aku ingin ia tahu bahwa perasaannya selama ini kepadaku tak bertepuk sebelah tangan. Namun aku terlalu takut untuk mengatakan perasaanku. Aku takut ia akan menjauhiku kalau tahu bahwa aku menyukainya. Jadi aku memutuskan untuk diam.
Aku berusaha bersikap seperti biasa, tapi tanpa kusadari sepertinya aku telah memberikan perhatian yang lebih kepadanya. Sampai akhirnya ulang tahun Adrian pun tiba, aku berusaha mati – matian membuatkan surprise terbaik untuknya. Dan sepertinya ia menyukai surprise dariku. Aku bias tahu hal itu karena saat aku menyerahkan kue ulang tahun untuknya, ia menggenggam erat tanganku dan mencium pipiku. Aku tersipu.
Ah .. Kertasnya habis. Aku terdiam sejenak. Dan mengambil lembaran kertas baru.
Kembali menulis …
Semenjak kejadian itu kami pun semakin dekat, sangat dekat. Aku sering bermain kerumahnya, bertemu dengan seluruh keluarganya dan sudah dianggap seperti anak sendiri oleh kedua orang tuanya. Iapun juga begitu, sering berkunjung kerumahku dan sudah dianggap kelurga sendiri oleh seluruh keluargaku. Aku merasa nyaman dengan hubungan seperti ini, dan tampaknya ia pun juga menikmatinya. Hubungan tanpa status yang cukup nyaman dan aku harap akan terus seperti ini.
Aku yang belum tahu apa – apa soal cinta, soal hati, menumpahkan seluruh rasa sayang ku untuknya. Aku sudah merasa bahwa ia benar – benar milikku, dan ia pun menunjukkan hal tersebut sehingga membuatku tenang. Hal ini menyebabkan aku menjadi ingin selalu berada disisinya, tak ingin berpisah. Namun aku belum mengetahui, satu hal bahwa “cinta tak selamanya dapat saling memiliki”
Kelulusan,8 Mei 2010… aku dan seluruh teman seangkatanku pergi ke gedung Mahkamah Konstitusi untuk menghadiri acara kelulusan kami. Aku datang dengan berbalut kebaya putih nan cantik dengan sedikit ulasan make up pada wajah. Dan sementara Adrian berbalut kemeja putih dilapis jad hitam nan gagah. Melihat penampilannya seperti itu, aku menjadi semakin menyukainya.
Kami mengikuti acara kelulusan dengan khidmad dan penuh keharuan dikarenakan harus meninggalkan guru – guru kami dan teman – teman kami yang sangat kami cintai. Namun hidup terus berjalan, dan kami pun harus tetap melangkah.
Aku tersenyum simpul mengingat hal ini.
            Selesai acara perpisahan, Adrian menemuiku di pelataran parker dan mengatakan bahwa ia akan melanjutkan ke SMA negri, sementara aku akan melanjutkan ke SMA swasta. Sekolah kami tidak berjauhan namun ia bilang ia akan selalu merindukanku. Ia memberikanku sebuah pensil mekanik berwarna hijau dan ia berkata
“Kamu harus jaga pensil ini baik – baik, karena kalau pensil ini sampai hilang itu menandakan bahwa peasaanku padamu juga akan hilang.”
            Aku terdiam, dan mengangguk sambil berlinang airmata, terharu campur sedih campur bahagia. Namun aku tak tahu bahwa malam itu, akan menjadi terakhir kalinya Adrian mencurahkan kasih sayangnya kepadaku.
Kami berpisah dengan harapan dapat bertemu kembali, dengan harapan dapat jalan bersama setiap akhir pekan, dapat selalu bertemu kembali setiap kami menginginkannya.
Aku pulang menuju rumahku sampai pada akhirnya temanku menghubungiku bahwa Adrian mengalami kecelakaan. Kondisinya cukup parah dan ia dilarikan ke rumah sakit disekitar tempat kejadian. Aku langsung memutar balik arah dan pergi menuju rumah sakit tempat Adrian berada secepat mungkin.
Aku menarik nafas dalam dalam…
            Selama perjalanan menuju rumah sakit aku menggenggam erat pensil yang baru saja beberapa jam lalu ia berikan kepadaku. Ku pegang erat pensil tersebut dan takkan kubiarkan siapapun mengamblnya, takkan ku biarkan pensil itu hilang karena aku tak ingin membiarkan Adrian pergi dari ku.
            Sesampainya dirumahsakit aku langsung menuju UGD secepat mungkin sambil tetap menggenggam pensil Adrian . Namun nampaknya aku terlambat, ketika sampai di UGD aku melihat kedua orang tua Adrian menangis, meratap, meraung tak rela. Teman – teman seangkatanku pun sama, tertunduk sedih, menitikan air mata menandakan ada seseorang yang telah pergi. Aku kehilangan kesadaran, terjatuh lemas, menangis dan melepaskan pensil yang Adrian berikan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku bangkit perlahan menuju seseorang yang berada di atas tempat tidur pasien yang telah ditutupi kain putih.
Aku mencoba membuka kain putih yang menutupi orang tersebut dan tak kuasa menahan tangis saat melihat seseorang tersebut telah terbujur kaku, diam, menutup matanya dan tak bernyawa. Aku menangis sejadi – jadinya dan terjatuh pingsan.
            Saat aku sadar, aku sudah berada di dalam kamarku. Kepalaku terasa pusing. Aku masih mencoba mengumpulkan ingatan. Dan saat semuanya terkumpul aku kembali histeris, menangis. Aku langsung pergi menuju rumah Adrian dan melihat sudah terpasang bendera kuning serta banyak orang yang berkunjung kesana menggunakan baju hitam.
Aku berlari masuk menuju rumahnya dan kembali menemukan Adrian dengan sosok yang lain, kaku. Tak ada lagi Adrian yang jahil, tak ada lagi Adrian yang hangat, tak ada lagi Adrian yang aku cintai.
Aku terdiam di depan mayat Adrian sambil membacakan do’a untuknya. Lalu aku mengikuti acara pemakaman yang dipenuhi dengan isak tangis orang – orang yang mencintai Adrian.
Air mata pun mengalir..
            Saat itu aku merasa takdir tak adil. Mengapa mengambil orang yang aku cintai. Mengapa? Aku menyalahkan takdir atas kejadian yang menimpaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku merasa tak bias berbuat apa apa tanpa ada Adrian di sisiku. Bagaimana aku harus menjalani hidup tanpa Adrian? Adrian sudah seperti kebutuhan pokok untukku. Tanpanya aku bukanlan apa – apa. Pikirku saat itu.
Aku merasa tak lagi mampu untuk melanjutkan kisah ini. Aku mengambil nafas perlahan lalu kembali menuliskan beberapa kalimat terakhir.
            Aku kembali berusaha menata hidupku, fokus untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan berusaha untuk bersikap seperti tak pernah terjadi apa – apa. Aku mengunci rapat – rapat kesedihanku dalam hati agar tak ada yang tahu dan tak ada yang mengungkit tentang hal ini, aku hidup berpura – pura seperti orang normal lainnya yang hidup penuh kebahagiaan, yang tak pernah merasa kehilangan.
            Kau tahu masa lalu, aku menceritakan kisah mu dengan perasaan yang tak karuan. Sesak dan perih.seperti aku menyayat jantungku sendiri. Namun dengan ku tulis surat untukmu sepertinya aku sudah mulai merelakanmu. Sekarang aku tahu. Bakan kau yang menghantuiku, namun aku yang belum membiarkanmu pergi, aku yang masih membiarkanmu berputar di benakku, aku yang masih mengikatmu di dalam pikiranku. Kau bisa pergi sekarang, kau sudah bebas sekarang, karena aku sudah dengan sepenuh hati merelakan semua yang terjadi
Dengan penuh kepuasan hati,
Orang yang tak lagi terikat dengan masa lalu.

Ku lipat suratku dan ku masukkan kedalam amplop. Aku tak tahu akan mengirimkannya kepada siapa. Aku memasukkannya kedalam laci paling bawah dan menyimpannya sebagai kenangan berharga dalam hidup.

Tidak ada komentar